Di sini di tempat ini, aku berdiri melihat ke arah luar yang dipenuhi dengan rintikan
hujan. Terlihat gunung yang dikabuti dengan awan dan gemericik hujan yang
mengundang masa laluku. Aku tidak bermaksud untuk mengingatnya, aku juga tidak
bermaksud untuk melupakannya. Aku tidak ingin membohongi hatiku ini, walaupun
ini sangat sakit. Ku goreskan gambar di kaca yang berembun, gambar laki-laki
dan perempuan yang sedang bergandengan tangan. Entah apa yang aku pikirkan saat
ini, aku sangat membencinya, tapi aku menyayanginya. Andai saja waktu dapat ku
ulang, andai saja laci doraemon ada di dunia ini. Aku ingin mengulangnya,memperbaikinya,
menghentikannya, agar semua tidak menjadi sakit yang berbekas.
Gunung
itu yang sedang dihalangi awan. Dia mengajakku ke arah gunung itu. Pagi-pagi
sekali dia menyuruhku untuk masak untuk bekal di jalan. Dan permintaan anehnya
menyuruhku jadi cewek yang cantik untuk hari ini. Dengan gayaku yang tidak
berlebihan, aku siap dijemputnya. Dan pukul delapan sangat dingin, sudah ku
bayangkan sebelumnya bila ke sana bagaimana dinginnya pagi. Tapi dia memaksaku
untuk menyusulnya ke depan komplekku. Dia terlihat manis, dengan jaket hitam
dan celana jeans yang serasi. Tersenyum manis dan menyurhku cepat naik ke
boncengan motornya. Dia membuka helmed nya, dan kenakan sarung tangan putih. Aku
di belakangnya menatap punggungnya, dan ban pun melaju dengan cepat. Melaewati gang-gang,
melewati perkampungan, tanjakan dan turunan. Tangan kirinya melepas kemudi
motor dan meraih tanganku di belakang supaya tetap memegangnya.
Satu titik perjalanan, gunung itu
sangat indah terlihat sangat dekat, terlihat menyapa, melambaikan tangannya
menyambut aku dan dia. Dia berhenti dan meminggirkan motornya, standar motor
dikerahkan. Dan dia turun dari motor, membiarkanku tetap duduk di jok motor. Dia
merenggangkan bahu dan badannya. “pegal sekali, dingin ya? Lihat di bawah sana.
rumahku dimana ya, sepertinya tidak terlihat lagi, itu rumahmu, itu tempat kita
ketemu tadi ! “ gembira raut mukanya sambil menunjuk-nunjuk kea rah bawah, yang
memang terlihat sangat indah. Sebelunya dia pernah ke sini, malam hari terlihat
lebih indah katanya, karena lampu menerangi kota. Aku melihatnya mengenakan
gelang abu-abu. “hei, cowok masa pake gelang, kamu banci ya?” gelak tawaku
dengannya memecah. “ye, ini tuh dari fansku, tadinya disini ada bunga nya, tapi
sama aku dilepas, yasudah aku pakai saja”, membuka gelangnya dan menunjukannya
padaku. “coba sini aku lihat, jelek ih. Masa cowok pake gelang, gak pantes tau!
Jelek wleee” Sindirku sambil menertawakannya. “Sinikan tanganmu, nih buat kamu”
dia menarik tanganku dan mengenakan gelang abu-abu itu padaku, aku kaget sekali
saat dia menarik tanganku. “loh katanya itu dari fansmu?” “bukan itu Cuma candaan,
pake yaaa, buat kamu, yuk lanjut lagi jalannya”. Dia merangkulku, dan aku
menjauh terdiam dan dia cuek saja sambil menegakkan mtornya lagi. Lalu jalan
menuju gunung itu, kita sudah di kaki gunung katanya, gelak tawa saat di jalan,
dia selalu membuaku tertawa terbahak-bahak dan memukuli punggungnya. Dia mencuri-curi
kesempatan untuk memegang tanganku dan rem mendadak agar aku memeluknya. Aku benci,
aku memukulinya, mencubitnya karena gemas. Belokan demi belokan menutupi gunung yang tadi sangat terlihat. Kemaa
gunung tadi kataku, mungkin dia pergi capek melihat kita berdua.
Akhirnya kita berhenti di lapangan
kosong, di bawah pohon, dan jika lihat ke bawah terlihat kolam renang, terlihat
perosotan yang sangat tinggi. Sayangnya kita tidak berniat untuk berenang. Dia tidak
tahu jalan lagi. Seling waktu aku mengelukarkan kamera dan memaksanya untuk aku
foto, aku pegang pipiya. Dia terlihat seperti anak kecil di foto. Dan kita
berfoto berdua, dengan latar pohon-pohon dan langit biru. Tiba-tiba gerombolan
kelompok motor lewat, seperti kawanan rusa yang bergemuruh lari. Dia mengajakku
untuk mengikutinya, tapi hanya sebentar kawanan orag tadi hilang di kejauhan,
dan kita berhaenti lagi, di jembatan. Melihat aliran sungai yang sangat deras. Dia
memberi aku tantangan untuk loncat dari jembatan. Tap ku abaikan,
candaan-candaan mengalihkan semua. Kita melanjutkan perjalanan lagi, entah
kemana kita ini.
Jalannya lurus saja, tidak ada
tanda-tanda. Tidak tahu ini dimana, tidak tahu mau kemana. Aku tak perduli
karena aku tak sendiri. Tapi jalan pun bercabang. Motornya berhenti sebenar dan
terlihat petunjuk arah jalan ke kiri adalah menuju air terjun. Dan akhirnya
kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke air terjun. Jalan
berbatu, udara yang dingin, sepertinya tidak terasa, karena gelak tawa selalu
muncul di jalan. Lalu kita memasuki pigura selamat datang di kwasan wisata. Wah,
ternyata kawasan wisata, banyak pengunjung yang datang, otomatis kita mengeluarkan uang untuk membayar tiket
masuk. Kita lanjutkan perjalanan sampai ke pojok hutan dan menarik rem untuk
berhenti. Pohon-pohon menjulang tinggi, udara yang belum terkontaminasi
kendaraan. Wilayah itu sangat asri, dan kita berfoto ria lagi, lalu aku
mengeluarkan bekal masakanku, dia makan masakanku. Enak katanya, senang aku
melihatnya, sambil dia menyuapi ku juga agar aku juga ikut makan. Habis, dan
lumayan enak. Lanjutkan lagi perjalanan kita.
Kamera ku masih di tangan, aku
mencoba video, dan aku merekam perjalanan kita dengan merekam mukanya dan
mukaku. Hanya sebentar, hanya mencoba. Kita sampai, kita berada di kawasan air
terjun. Akhirnya tujuan kita, tidak sia-sia. Tampak dikejauhan tangga menuruni
jurang yang telah disiapkan untuk para pengunjung kita jajaki satu-satu sambil
menikmati pemandangan. Berfoto ria di sudut-sudut, dengan latar yang indah. Menuruni
tangga bersama berpegangan tangan dan tertawa melihat monyet-monyet liar yang
iri melihat kita. Tidak terasa lelah, aku senang karena sekarang di depanku air
terjun, air yang menciprati kita di depan mata. Segar sekali, tetap tidak lupa
untuk berfoto, dingin sekali, dia memegang tanganku, menjagaku agar tidak
terjatuh saat mencoba menaiki batu-batu di tampungan air yang indah itu. Berpindah-pindah
tempat dan menikmati indahnya hari bersamanya.
Waktu siang tidak terasa, ini
waktunya pulang dan mengulang melewati tangga yang kita jajaki tadi. Tapi ini
sangat menyenangkan. Kita berlari untuk mencapai puncak bersama. Dengan canda
tawa yang mewarnai. Hari itu sangat indah. Kita pulang dengan gembira dan
pelukku dari belakang saat diboncengnya tidak ragu lagi. Kita pulang dengan muka sumringah. Dan aku sangat menyayanginya.
**